a-dot

keliling gili trawangan

Pada waktu itu sekolah kami mengadakan kunjungan ke Lombok. Suatu hari di waktu siang, saya dan teman saya memutuskan untuk menghabiskan waktu bebas kami ke parkir sepeda, tidak tahu mau kemana setelahnya. Sementara teman kami yang lain sudah berkeliaran entah dimana.

"Mau ngapain ya?" Kami melihat peta di ponsel kami, memerhatikan setiap titik wisata tetapi yang saya lihat adalah bentuk pulau Gili. Oval dan "kecil". Ketika itu saya tahu apa yang kami harus lakukan, keliling Gili Trawangan.

Ide gila ini ada bahayanya. Kami akan jauh dari teman-teman dan guru kami. Kami hanya anak SMA jauh dari orang tua dan guru (yang memercayakan kami). Saya membayangkan jika orang tua saya mendengar mereka akan menggeleng-geleng kepala mereka.

Tapi ini kesempatan satu-satunya saja. Tidak bisa terulang. Maka kami memutuskan untuk jalan.

Hal yang pertama saya rasakan adalah sakit dan takut. Maklum pendek jadi naik sepeda yang sedikit lebih tinggi dari tinggi saya terasa sakit. Berhenti-pun sulit karena kaki saya sulit menyentuh tanah. Dan takut karena kami dikit semakin dikit semakin jauh dari semua orang yang kami kenal.

Awal perjalanan, pemandangan masih sama-sama saja. Ada restoran-restoran dan hotel-hotel digemari dengan lagu elektronik dan pesta.

Setelah ratusan meter, kami berhenti di "jembatan". Matahari panas terik. Kalau dipikir kembali lagi, harusnya kita cari pohon sebagai pelindung tapi gak ada. Di sebelah kiri kami pesisir pantai dan di kanan sebuah hutan. Kami mengambil istirahat sejenak sementara beberapa kereta kuda dan pesepeda sedang lewat.

Kami melihat peta kami, perjalanan masih jauh.

Semakin jauh dari penginapan, definisi jalanan menjadi kabur. Dibawah kami aspal tetapi ditutup dengan pasir. Di jalan juga ada polisi tidur. Ketika kami berhenti, yang ada hanya ruko kecil layaknya warteg. Saya masih ingat hidangan mereka, indomie. Suasana disitu terasa begitu sepi. Yang menemani kami hanya penjaga toko, pohon-pohon, laut, dan langit. Perasaan saya yang awalnya sakit dan takut mulai menghilang.

Jalan yang tadinya lebar semakin menipis tapi bentuknya adalah jalanan bebatuan yang kami sudah kenal. Kami kembali dengan masyarakat lagi. Tempat itu sebuah pasar kecil, sempit dengan banyak orang berserakan-serekan. Kami terpaksa membimbing sepeda kami dengan jalan kaki.

Sebenarnya Gili Trawangan tidak terlalu jauh kalau kita terus pedal sepeda kita. Di peta, kami kira-kira sudah 80% dari perjalanan kami. Tetapi di depan kami sebuah hutan, bukan lagi pesisir pantai. Waduh saya pikir, ini yang saya selalu takutkan.

Kami berhenti sebentar di depan tembok restoran/bar sambil pegang sepeda kami. Semua restoran di sini sepertinya selalu main musik tipe yang sama. Saya ingat betul momen ini. Ada dua turis wanita yang lewat lalu abang-abang yang jaga restoran memanggil mereka dengan bahasa Inggris mencoba mengajak masuk tapi kata-katanya terkesan tidak senonoh dan hanya membuat mereka menjauh. Wow, saya meringis saat itu. Saya lihat dua wanita berkacamata hitam itu lewat begitu saja.

Seketika, saya dan teman saya sedang bingung bagaimana harus maju. Saya pikir, udahlah tanya abang-abangnya aja. Saya tanya, "bang ini kami sepeda kesana gimana ya?" sambil menunjuk ke hutan.

Seketika abang itu tersenyum lebar mungkin karena akhirnya bisa ketemu kawan sebangsa lagi.

"Jalan lurus terus aja" lalu beri arah jalan yang saya sudah lupa. Kita ya ngangguk-ngangguk aja lah.

Jadi akhirnya kami memutuskan untuk jalan lurus ke hutan. Di pertigaan, ada dua pilihan antara Ke kiri atau lurus alias kanan. Kayaknya kami lupa pesan abang itu tapi dengan dua pilihan terkesan ada dilema. Kami menjadi ragu mau kemana.

Tiba-tiba datang mas-mas dengan sepeda yang pedalnya begitu cepat dan ringat, sulit mengejarnya, rela memberi arahan bagi kami. Saya melihat teman saya dan teman saya melihat kembali seperti setelah melihat mukjizat.

Kami terus jalan lurus. Sebenarnya menyebutnya hutan tidak pas. Mereka layaknya sebuah jalan terpotong di pendalaman pesisir Gili. Sebelah kanan dan kiri tembok-tembok sepertinya isinya villa atau hotel. Sejujurnya di momen itu saya begitu takut. Rasanya kami benar-benar hilang. Kalau saja tidak ada mas itu yang baik hati.

Setelah berapa lama, kami balik lagi dengan masyarakat. Jalanan kali ini begitu familiar, ya kami sudah di lap akhir perjalanan. Mas itu mengayungkan tangannya dan dia pergi begitu saja, sepertinya akan memutar Gili lagi.

Saya terasa lega tapi karena saking takut yang hanya saya pikir adalah kembali ke rumah. Ke tempat asal kami. Saya kesal perihal itu karena seharusnya kami nongkrong saja. Ada bagitu banyak restoran dan kafe-kafe yang kami lewati dengan begitu saja.

Balik di tempat penginapan, kami berpapasan dengan guru kami. Kulit kami sepertinya sudah terbakar, napas kami tergesa-gesa, dan badan terasa pegal. Ia melihat kami dengan mata penasaran. Dia tidak tahu kami telah melingkari pulau ini, Gili Trawangan, walau hampir kesasar.